Teladan Ibrahim, Menjadi Hamba Allah Seutuhnya
(Oleh: Ust. Muhajirin Ibrahim Lc)
الحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ ، أَحْمَدُهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِمُحَامِدِهِ الَّتِي هُوَ لَهَا أهْلٌ ، وَأُثْنِي عَلَيْهِ الخَيْرَ كُلَّهُ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْهِ هُوَ جَلَّ وَعَلَا كَمَا أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ ، أَحْمَدُهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى نِعَمِهِ المُتَوَالِيَةِ وآلَائِهِ المُتَتَالِيَةِ وَعَطَايَاهُ الَّتِي لَا تُعَدُّ وَلَا تُحْصَى ، أَحْمَدُهُ جَلَّ وَعَلَا حَمْداً كَثِيْراً طَيِّباً مُبَاركَاً فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ جَلَّ وَعَلَا وَيَرْضَى ، أَحْمَدُهُ جَلَّ وَعَلَا عَلَى نِعْمَةِ الإِسْلَامِ وَعَلَى نِعْمَةِ الإِيْمَانِ وَعَلَى نِعْمَةِ القُرْآنِ وَعَلَى كُلِّ نِعْمَةٍ أَنْعَمَ بِهَا عَلَيْنَا فِي قَدِيْمٍ أَوْ حَدِيْثٍ أَوْ خَاصَةٍ أّوْ عَامَةٍ أَوْ سِرٍ أَوْ عَلَانِيَةٍ ، اَللّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ إِلهَ الأَوَّلِيْنَ وَالآخِرِيْنَ وَقَيُّوْمُ السَمَوَاتِ وَالأَرْضِيْنَ وَخَالِقُ الخَلْقِ أَجْمَعِيْنَ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُّهُ وَخَلِيْلُهُ وَآمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ وَمُبَلِّغُ النَّاسِ شَرْعَهُ، فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد
ثم أما بعد
Sidang jama’ah sholat Idhul Adha yang dirahmati Allah
Sudah maklum bahwa tokoh utama dibalik perayaan haji dan Idul Adha adalah Nabiyullah Ibrahim –alaihis salam-. Beliau juga yang mendapat gelar khalilullah yang bermakna kekasih Allah, kisah beliau yang diperintahkan Allah untuk menyemblih Ismail menjadi Ibrah bagi umat Islam untuk senentiasa berkurban.
Tapi, pada kesempatan kali ini Khatib ingin mengajak kepada jama’ah sekalian, untuk menengok episode lain dari kisah Nabi Ibrahim as. Di antara episode itu adalah kisah Ibrahim as mencari Tuhan. Hal ini dikisah di dalam firman Allah dala surat Al-An’am ayat 75 hingga 82.
Di dalam penggalan ayat di atas ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil terkait bagaimana seharusnya karakter Rabb (tuhan) dan bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai hamba.
Pelajaran pertama : Rabb haruslah Maha Agung dan Maha Besar. Tidak ada keagungan dan kebesaran yang melebihi kebesaran¬-Nya, jika ada yang lebih agung dan besar dari sesuatu yang diklaim Tuhan oleh sebagian manusia, maka dia tidak layak diyakini dan dikatakan sebagai Rabb, karena Tuhan tidak mungkin lemah dari yang lain.
Oleh karena itu Allah berfirman menceritakan narasi Ibrahim kepada kaumnya tentang hakekat sesuatu yang tidak layak dijadikan Rabb.
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
Artinya, “Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam” (76) Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat (77) “Maka ketika Ibrahim melihat matahari terbit, dia berkata; inilah Rabku, ini lebih besar, namun tatkala ia (matahari) lenyap Ibrahim berkata, wahai kaumku sesungguhnya aku berlepas diri dari kesyirikan kalian.” (QS Al-An’am : 76-78)
Di dalam 3 ayat di atas Ibrahim melihat 3 Hal yang mankjubkan, pertama, bintang, kedua bulan dan terakir matahari. jika bulan, bintang dan matahari yang sangat besar saja dibuktikan Ibrahim tidak layak dijadikan Rabb, lalu bagaimana yang lebih kecil dari itu semua, batu, manusia, pangkat, kekuasaan? Pantaskah dijadikan sebagai Rabb? Dan adakah yang sama apalagi lebih besar dari Allah Ta’ala Rabnya langit dan bumi?
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد
Sidang jama’ah sholat Idhul Adha yang dirahmati Allah
Mungkin saat menyebut Rabb atau Tuhan yang tegambar di hadapan kita adalah sesuat Dzat yang kita harus sujud, ruku’ dan ibadah ritual kepada-Nya. Akan tetapi pada hakikatnya cakupan ibadah dan mengagungkan Rabb itu sangat luas dan kompleks.
Adakalanya ketaatan secara mutlak kepada sistem dan aturan peguasa yang bertentangan dengan syariat Allah, baik dalam urusan politik, ekonomi, budaya dan segala urusan yang bertentangan dengan Syariat Allah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada sistem tersebut. Hal itu disebut para ulama dengan istilah “Syirku Al-Arbab” sebagaimana kisah Adi bin Hatim -Radhiyallahu Anhu- yang datang kepada Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam dengan mengenakan kalung salib dari perak, maka beliau membacakan firman Allah dalam surat At-Taubah : 31 di hadapannya,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (31)
“Mereka (Ahlul Kitab) menjadikan para pendeta Yahudi dan Nasraninya sebagai Rab-Rab selain Allah, begitu pula Al-Masih bin Maryam, padahal mereka hanya diperintahkan beribadah kepada Ilah yang Satu, tidak Ilah selain Dia, Maha Suci Allah dari semua kesyirikan mereka.”
Sontak!, Adi bin Hatim -Radhiyallahu Anhu- yang saat itu masih Nasrani menyangkal bahwa dia dan kaumnya menjadikan pendeta sebagai Rabb, karena dia dan kaumnya tidak pernah ruku’ dan sujud kepada pendeta. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun menjelaskan maksud dari menjadikan selain Allah sebagai Rab :
بلى، إنهم حرموا عليهم الحلال، وأحلوا لهم الحرام، فاتبعوهم، فذلك عبادتهم إياهم
“Memang (mereka tidak ruku’ dan sujud kepadanya), namun para pendeta itu mengharamkan apa yang Allah halalkan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mereka pun mengikutinya, maka itulah yang dimaksud ibadahnya kepada pendeta (menjadikannya sebagai Rabb).” ….Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengajaknya ke dalam Islam, hingga akhirnya dia bersyahadat. [lihat At-Tirmidzi, 3095]
Potret ibadah yang seperti ini seringkali luput dari pengamatan kita, karena seringkali kita membatasi ibadah pada hal-hal yang sifatnya ritual seperti sujud dan ruku’ saja. Padahal pengakuan kita bahwa Allah Rabb semesta alam bermakna bahwa kita meyakini bahwa Allah yang menciptakan alam semesta dan mengaturnya. Dan Allah telah menjelaskan kepada kita bagaimana cara mengatur alam semesta menurut kehendak Allah lewat Al-Qur’an dan hadits Rasul-Nya. Maka makna pengakuan bahwa Allah adalah Rabb adalah mengakui bahwa hanya aturan dan sistem Allah-lah yang pantas mengatur alam semesta.
Dan jika alam semesta ini tidak diatur dengan aturan Allah maka kerusakan dan kekacaunlah yang akan terjadi. Allah SWT berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum : 41)
Bisa saja segala macam kekacauan yang hari ini terjadi di negeri kita, hutang yang semakin hari semakin menumpuk, harga garam yang meroket, harga listrik yang semakin tinggi, nasib rakyat miskin yang semakin tercekik dikarenakan tidak menggunakan tata kelola rabbani yang telah Allah gariskan di dalam wahyu-Nya. Sebagai seorang muslim tentunya hal ini menjadi perhatian serius bagi kita. Karena tidaklah sebuah kehidupan itu lari dari aturan Allah melainkan yang ada hanya kerusakan dan kebinasaan.
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد
Sidang jama’ah sholat Idhul Adha yang dirahmati Allah
Pelajaran kedua dari ayat di atas adalah Rabb tidak boleh absen dari semua urusan hamba-Nya, jika ada sesuatu yang diklaim dan diyakini sebagai Tuhan namun hanya eksis dalam satu waktu dan ruang, dan absen di waktu dan ruang yang lain maka dia tidak pantas disebut Rabb, karena hamba selalu butuh kepada Rabb-Nya di setiap waktu dan ruang. Tidak ada Rabb paruh ruang dan waktu, sebagaimana tidak ada pula hamba paruh waktu.
Oleh karena itu Allah Ta’ala menceritakan narasi Ibrahim kepada kaumnya tentang kelemahan Rabb yang batil, bahwa ternyata Rabb hilang (أفل) dan dia tidak suka jika Rabb datang dan pergi, cuma ada untuk waktu tertentu dan hilang di waktu yang lain :
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
“Dan ketika malam menyelimutinya, Ibrahim melihat planet, dia berkata; ini Rabku,maka ketika dia lenyap Ibrahim berkata aku tidak suka yang lenyap.”
Maka dari pada itu, kita sebagai hamba seharusnya memperlakukan Allah sebagai Rabb kita di setiap ruang dan waktu. Karena bagi sebagian manusia Allah cuma ada untuk urusan setelah mati, namun untuk urusan hidup mereka mencari tuhan lainnya? Mereka sibuk menyelenggarakan jenazah secara Islami, tapi mereka lupa untuk menyelenggarakan hidup sesuai aturan Rabb mereka.
Di ayat pertama dalam surat Al-fatihah Allah mengenalkan diri-Nya sebagai Rabbul ‘Aalamiin(Tuhan semesta alam) sebagaimana Dia juga mengenalkan diri-Nya sebagai Maliki Yaumiddiin(Pemilik hari pembalasan) di ayat ketiga.
Rabbul ‘Aalamiin yakni Allah menciptakan dan mengatur seluruh alam (jin, manusia, langit dan bumi dan makhluq lainnya) maka Dia adalah Raja mutlak untuk seluruh alam yang wajib ditaati secara mutlak semua aturan-Nya di dunia.
Sebagaiamana Allah adalah Maliki Yaumiddiin yakni Allah adalah Raja mutlak yang ditaati persidangan-Nya kelak di akhirat.
Jadi Allah Ta’ala adalah Rabb dan Malik (Raja/Penguasa/Pemilik) yang wajib dibadahi secara mutlak dalam urusan dunia dan akhirat.
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد
Sidang jama’ah sholat Idhul Adha yang dirahmati Allah
Apakah Allah hanya hadir di ruang masjid namun tidak di ruang kepemerintahan? Sebagian manusia jika masuk ke dalam masjid maka mereka melakukan seluruh tuntunan Allah , mulai dari tata cara takbir, tata cara sholat hingga bagaimana cara berdo’a. Namun setelah keluar masjid dan masuk ke ruang-ruang pemerintahan, mereka seolah lupa, kalau Allah yang mereka ibadahi di masjid juga memberikan perintah agar mreka mengisi ruang-ruang pemerintahan dengan aturan-aturan Allah.
Apakah Allah hanya ada saat sholat shalat, zakat, puasa dan ibadah ritual saja, tapi tidak untuk ranah politik, ekonomi sosial? Jika halini terjadi, maka inilah sekulerisme. Yaitu meninggalkan Allah pada ranah-ranah ritual dan mengabaikan Allah pada urusan politik dengan berpaling dari aturan Allah, mengabaikan Allah dalam masalah ekonomi dengan begitu ringannya mempraktekkan riba dan memungut pajak, acuh dengan Allah di ruang-ruang sosial dengan menjauhkan diri dari prinsip-prinsip muamalah islami.
Hanya Allah yang menciptakan malam dan siang, daratan dan lautan, maka Dialah yang berhak diibadahi dan ditaati aturannya secara mutlak di seluruh ruang dan waktu. Maka hanyalah Allah yang berhak menjadi Rabb kita dalam urusan dunia dan akhirat. Sebagaimana Allah harus hadir di hati kita saat kita berada di masjid maupun di ruang-ruang pemerintahan. Dan Allah menjadi Rabb kita dalam urusan ibadah ritual dan urusan politik, ekonomi dan sosial.
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد
Sidang jama’ah sholat Idhul Adha yang dirahmati Allah
Dari dua pelajaran di atas maka lahir kesimpulan bahwa Rab harus bersifat tunggal, karena Dia pasti tidak tertandingi, tidak ada yang sama dengan-Nya, apalagi yang lebih besar dari-Nya, tunggal tanpa membutuhkan bantuan dari yang lain-Nya, tunggal senantiasa ada dalam setiap urusan hamba-Nya di setiap waktu dan ruang, bukan menjadi Tuhan di satu waktu dan ruang, kemudian berganti tuhan di waktu dan ruang yang lain.
Maka, manusia yang lurus, benar dan merdeka adalah manusia yang hanya memiliki millah wahidah (agama yang satu) yaitu agama yang menghamba hanya kepada satu Rabb, merdeka dengan hanya menghamba kepada Allah yang Tunggal dalam rububiyah dan Uluhiyah-Nya serta asma` dan sifat-Nya.
Maka urusan shalat, zakat, puasa dan haji hanya lillah (untuk Allah dan taat kepada Syariat-Nya) urusan tumpah darah hanya lillah (untuk Allah dan taat pada syariatnya), urusan politik, ekonomi, sosial hanya lillah (untuk Allah dan taat pada Syariat-Nya), dalam urusan dunia hanya lillah dalam urusan akhirat juga hanya lillah, inilah ikrar suci kemerdekaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Nabi Ibrahim dan para Nabi lainnya Alaihimussalaam :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya, “Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am : 162)
Oleh karena itu siapa yang berstatus dua millah atau lebih, pasti akan terjadi kekacauan, kebingungan dan kerusakan pada dirinya. Siapa yang mengaku muslim sementara dia juga memegang erat aturan selain Allah maka akan terjadi kekacauan.
Dalam islam seorang dituntut taat mutlak hanya kepada Allah, sementara musuh-musuh Islam dengan berbagai cara memaksa umat harus taat kepada aturan dan semboyan penguasa yang bertentangan dengan aturan Allah, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang bertolak belakang dengan tuntunan Allah.
Dalam islam seorang dituntut untuk menjadikan Al-Qur`an dan As-sunnah sebagai pedoman suci hidupnya, sedangkan musuh Islammemaksakan aturan-aturan manusia yang bertentangan dengan syariat Allah.
Dalam islam ruku’, sujud dan shalat seorang hanya kepada Allah, sementara dalam isme-isme kekufuran seorang dipaksa untuk melakukan ritual untuk selain Allah, ritual seperti menundukkan kepala dan hati serta mengheningkan cipta untuk selain Allah (dimana secara simbolik seperti ruku’ dan sujud dalam shalat), diisi dengan nyanyian yang dianggap sakral bak kalam suci ilahi dalam shalat.
Jadilah muslim sejati yang hanya memiliki satu millah, millah Ibrahim yang lurus, Din Muhammad yang sempurna, yang menyatakan kemerdekaan hidup dengan ikrar.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya, “Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am : 162)
Inilah kemerdekaan Ibrahim –Alaihis salaam- yang difirmankan Allah Ta’ala :
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (79)
Artinya, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS Al-An’am : 79)
Inilah kemerdekaan hakiki, kemerdekaan yang dicontohkan Ibrahim dengan tunduk, patuh dan pasrah di bawah aturan-aturan ilahi.
الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَى خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَ أَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَ انْصُرْهُمْ علَىَ عَدُوِّكَ وَ عَدُوِّهِمْ. اَللَّهُمَّ الْعَنْ كَفَرَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَ يُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَ يُقَاتِلُوْنَ أَوْلِيَاءَكَ. اَللَّهُمَّ خَالِفْ بَيْنَ كَلِمِهِمْ وَ زَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَ أَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي لَا تَرُدُّهُ عَنِ الْقَوْمِ الظَّّالِمِيْنَ.
اَلَّلهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَ أَصْلِحْ لَناَ دُنْيَانَا الَّتِي فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِي فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
الَّلهُمَّ ارْزُقْنَا قَبْلَ اْلَمْوتِ تَوْيَةً وَعِنْدَ الْمَوْتِ شَهَادَةً وَ بَعْدَ الْمَوْتِ رِضْوَانَكَ وَ الْجَنَّةَ. اللَّهُمَّ أَحْيِنَا مُؤْمِنِيْنَ طَائِعِيْنَ وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ تَائِبِيْنَ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأّلُكَ مُوْجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَ عَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ وَ الْغَنِيْمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَ الْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ وَ النَّجَاةَ مِنَ النَّارِ. اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُوْرِ كُلِّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الأَخِرَةِ.
رَبَّنَا لاَتَجْعَلْنَا فِتْنَةً للذين كفروا واغفرلنا ربنا إنك أنت العزيز الحكيم
رَبَّنَا لاَتَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ونجنا برحمتك من القوم الكافرين
رَبّنا أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ.
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآإِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآإِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَطَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَآ أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ.
والحمد لله رب العالمين